Pertandingan pertama adalah “dhelikan” atau bersembunyi.
Begawan Selapawening dipersilahkan bersembunyi lebih dahulu dengan mengerahkan
kesaktiannya, sampai ibarat seribu pasang mata tak akan dapat melihatnya.
Tetapi ternyata Syekh Maulana Mahgribi berhasil menemukan Begawan Selapawening
di tempat persembunyiannya. Sebaliknya pada waktu Syekh Maulana Mahgribi
bersembunyi, Begawan Selapawening tidak mampu menemukannya, meskipun telah
mengerahkan segenap kemampuan atau kesaktiannya.
Pertandingan selanjutnya ialah pertandingan memancing.
Pelaksana pertandingan memancing itu diselenggarakan di muara Sungai Opak di
pantai “Segara Kidul”[1]. Begawan Selapawening diberi kesempatan lebih dahulu
menunjukkan kemahirannya atau kesaktiannya dalam bidang memancing. Dengan
tenang dan dengan gaya yang mantap Begawan Selapawening melemparkan mata
pancingnya ke dalam air. Dalam waktu singkat ditariknya pancing itu. Ternyata
pancing itu telah mendapatkan seekor ikan yang sangat besar. Semua orang yang
hadir dan menyaksikan peristiwa itu menyatakan kekaguman dan keheranannya.
Mereka semua mengakui bahwa Begawan Selapawening adalah orang yang sakti.
Sampailah kini giliran Syekh Maulana Mahgribi menunjukkan
kemahiran atau kesaktiannya memancing. Orang-orang yang menyaksikan
pertandingan itu menduga bahwa sukarlah bagi Syekh Maulana Mahgribi untuk
menandingi atau mengungguli kemampuan Begawan Selapawening.
Pada waktu Syekh Maulana Mahgribi melemparkan mata
pancingnya ke dalam air dan dengan cepatnya Syekh Maulana Mahgribi menarik
pancingnya kembali. Sesuatu benda pun turut tertarik pada mata pancing itu, dan
begitu ditarik lalu tergeletak di samping Syekh Maulana Mahgribi.
Benda itu tidak lain ialah ikan besar yang telah matang.
Siapa yang menginginkan dapat langsung memakannya begitu saja, sebab ikan itu
sudah masak. Bau segar ikan yang telah masak itu menusuk hidung setiap orang
yang hadir di sana.
Akhirnya Begawan Selapawening menyadari, bahwa kesaktian
Syekh Maulana Mahgribi melebihi kesaktian yang dia miliki. Begawan Selapawening
lalu mengakui kekalahannya. Padepokan yang didirikannya itu lalu diserahkan
kepada Syekh Maulana Mahgribi dan ia sendiri lalu pindah ke tempat lain, yang
letaknya lebih rendah dari padepokannya semula (puncak Bukit Sentana).
Oleh Syekh Maulana Mahgribi bekas padepokan itu lalu
dijadikan pondok pesantren, tempat untuk menampung mereka yang akan memperdalam
ajaran agama Islam dan ilmu kanuragan. Sedangkan walesan (tangkai kail) yang
dahulu dipergunakan untuk memancing waktu diadakan pertandingan dengan Begawan
Selapawening, oleh Syekh Maulana Mahgribi ditancapkan di kebun belakang
padepokan yang kini telah dijadikan pondok pesantren. Ternyata walesan yang
terbuat dari bilah bambu itu setelah ditancapkan di kebun oleh Syekh Maulana
Mahgribi, lalu tumbuh menjadi rumpun bambu yang rimbun, dan masih ada sampai
sekarang. Bambu yang berasal dari rumpun itu disebut “bambu Sentana” atau
“bambu Pamancingan”. Menurut kepercayaan, bambu sentana atau bambu Pamancingan
itu keramat.
Lanjutan cerita dari : Kisah Begawan Selapawening bagian 1
Kisah Begawan Selapawening - Bagian 2
4
/
5
Oleh
admin