Setelah Prabu Brawijaya yang menyamar menjadi dalang mulai
mendalang, ternyata para tamu undangan dan semua orang yang menyaksikan
pementasan wayang itu sangat terpesona dan kagum menyaksikan kemahirannya.
Pesindennya, yang diperankan oleh Permaisuri, juga bagus dan suaranya sangat
merdu. Belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu.
“Saya tidak tahu,” jawab yang ditanya. “Bagus sekali dia
mendalang.”
“Ya, bagus sekali,” yang lain lagi menyambung. “Belum pernah
saya menyaksikan permainan wayang sebagus ini.”
“Pesindennya juga bagus,” sela tamu lainnya.
“Ya. Bagus sekali,” lainnya menambah. “Dari manakah
pesindennya itu?”
“Menurut tuan rumah, pesindennya adalah isteri Ki Dalang,”
tamu yang lain lagi menerangkan.
Selesai mendalang, orang yang disebut Ki Dalang dan
pesindennya tadi cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Oleh tuan rumah mereka
ditahan agar mau makan-minum, tetapi Ki Dalang tidak mau. Diberi imbalan, juga
tidak mau menerima.
Beberapa saat setelah Ki Dalang dan isterinya pergi,
berbicaralah si tuan rumah kepada isterinya: “Aneh sekali sikap Ki Dalang itu.
Sama sekali dia tidak mau menerima imbalan.”
“Padahal bagus sekali dia mendalang,” sahut isterinya.
“Ya. Bagus sekali,” sambung suaminya.
“Siapa namanya Ki Dalang itu?” tanya isterinya.
“Aduh, saya lupa menanyakannya,” jawab suaminya. “Yang
jelas, dia bukan penduduk di desa-desa sekitar sini. Saya belum pernah berjumpa
dengan orang itu.”
“Padahal jasanya besar sekali,” kata isterinya.
“Benar. Jasanya besar sekali. Berkat kemahiran dia
mendalang, maka kita tidak jadi mendapat malu di depan tamu-tamu yang kita
undang.”
“Kita perlu mengucapkan terima kasih kepadanya,” kata
isterinya.
“Aduh, mbokne, aku sampai lupa menyampaikan ucapan terima
kasih,” kata si suami bagai seseorang yang terjaga dari lamunannya. “Baiklah,
akan aku susul mereka. Bagaimana pun, aku harus mengucapkan terima kasih.”
Setelah berkata begitu, cepat-cepat si suami berangkat untuk
menyusul perjalanan Ki Dalang. Namun, setelah berkeliling mencari hingga ke
batas desa, akhirnya ia kembali ke rumahnya karena Ki Dalang dan sindennya
sudah tidak tampak lagi.
Perjalanan Prabu Brawijaya dangan Permaisuri, yang menyamar
sebagai Ki Dalang dan pesindennya, dari Desa Gebang Sawar diteruskan menuju ke
arah barat laut. Saat berada di tengah hutan, beristirahatlah mereka karena
merasa sangat lelah akibat mendalang semalaman. Tak lama kemudian suami-isteri
itu pun tidur pulas.
Pada waktu terjaga dari tidurnya, tahulah Sang Prabu dan
Permaisuri, bahwa yang dipergunakan untuk bantal waktu tidur tadi, sebenarnya
hanyalah batu. Meskipun bantalnya hanya batu, tetapi ternyata mereka dapat
tidur dengan nyenyak. Sejak itu, maka hutan tempat Prabu Brawijaya tertidur
pulas itu lalu dinamakan “Alas Bantal Watu” atau Hutan Bantal Batu.
Dari hutan itu, Sang Prabu, Permaisuri beserta anjing
kesayangannya melanjutkan perjalanan ke arah tenggara, hingga sampai di sebuah
pantai yang sekarang dikenal dengan nama Kukup. Dari Pantai Kukup Sang Prabu
Brawijaya dan Sang Permaisuri lalu melanjutkan perjalanannya berkelana hingga
akhirnya mereka berdua mangkat dengan “muksa” (hilang tanpa bekas). Ada pula
yang mengatakan, bahwa Sang Prabu sampai di Gunung Kawi, dan mengganti namanya
menjadi Kyai Jugo atau Mbah Jugo.
Sambungan cerita dari : Kisah Prabu Prabu Brawijaya Dan Alas Bantal Watu - Bagian 1 dan Kisah Prabu Prabu Brawijaya Dan Alas Bantal Watu - Bagian 2
Kisah Prabu Brawijaya Dan Alas Bantal Watu - Bagian 3
4
/
5
Oleh
admin